KETIDAKADILAN DAN KEPALSUAN SEJARAH INTEGRASI PAPUA KE DALAM WILAYAH INDONESIA MELALUI PEPERA 1969
OPINI:
Oleh Pendeta Socratez Sofyan Yoman
Sudah pasti rakyat Indonesia yang berada di luar Papua bingung dan terus bertanya: Menpaga penduduk asli Papua tidak pernah mengakui dan menerima PEPERA 1969 tapi sebaliknya secara konsisten dan terus-menerus melakukan perlawanan terhadap sejarah diintegrasikan Papua Barat ke dalam wilayah Indonesia? Apakah
rakyat dan bangsa Papua Barat yang beretnis Melanesia ini keliru dalam
memahami sejarah diintegrasikan Papua ke dalam wilayah Indonesia?
Pertanyaan-pertanyaan ini tidaklah mudah untuk dijawab tapi dibutuhkan pergumulan dan perjalanan panjang. Istilah LIPI adalah Papua Road Map atau Peta Perjalanan Papua. Buku
yang diterbitkan LIPI dengan judul: Papua Road Map: Negotiating the
Past, improving the Present and Securing the Future adalah
penemuan-penemuan akar masalah yang sesungguhnya dialami dan
dipertanyakan rakyat dan bangsa Papua Barat selama ini. Buku
ini menemukan dan merumuskan empat masalah pokok di Papua, yaitu: (1)
sejarah dan status politik Papua; (2) kekerasan Negara dan pelanggaran
HAM; (3) marjinalisasi; (4) pembangunan yang diskriminatif. Rumusan ini telah memberikan
ruang dan kesempatan kepada rakyat Papua dan pemerintah Indonesia duduk
bersama-sama untuk negosiasi, mediasi dan komunikasi serta dialog untuk
memberikan pilihan-pilihan jawaban yang elegan, berartabat dan setara.
Tetapi,
menurut saya, keempat masalah yang ditemukan oleh TIM LIPI sesungguhnya
bersumber dari satu akar masalah saja yaitu: sejarah diintegrasikannya
Papua ke dalam wilayah Indonesia melalui proses Penentuan Pendapat
Rakyat (PEPERA) 1969. PEPERA 1969 telah dilaksanakan di Tanah Papua Barat sesuai dengan system Indonesia, yaitu musyawarah.
Pelaksanaan dengan cara Indonesia ini sangat berlawanan dengan isi
Perjanjian New York 15 Agustus 1962 yang disetujui oleh PBB, Amerika,
Belanda dan Indonesia bahwa PEPERA 1969 dilaksanakan dengan sistem dan mekanisme Internasional, yaitu one one vote. Tetapi itu benar-benar diabaikan bahkan dihancurkan oleh Pemerintah Indonesia melalui kekuatan militernya.
1. Keterlibatan Militer Indonesia Dalam PEPERA 1969
Dalam proses dimasukkannya Papua ke dalam wilayah Indonesia, militer Indonesia memainkan peran sangat besar dan penting, sebelum maupun dalam proses pelaksanaan dan sesudah PEPERA 1969. Terlihat
dalam dokumen militer: “Surat Telegram Resmi Kol. Inf. Soepomo, Komando
Daerah Militer XVII Tjenderawasih Nomor: TR-20/PS/PSAD/196, tertanggal
20-2-1967, berdasarkan Radio Gram MEN/PANGAD No.: TR-228/1967 TBT
tertanggal 7-2-1967, perihal: menghadapi referendum di IRBA tahun 1969: “
Mempergiatkan segala aktivitas di masing-masing bidang dengan
mempergunakan semua kekuatan material dan personil yang organik maupun yang B/P-kan baik dari Angkatan darat maupun dari lain angkatan. Berpegang teguh pada pedoman. Referendum di IRBA tahun 1969 harus dimenangkan, harus dimenangkan.
Bahan-bahan strategis vital yang ada harus diamankan. Memperkecil
kekalahan pasukan kita dengan mengurangi pos-pos yang statis. Surat ini
sebagai perintah OPS untuk dilaksanakan. Masing-masing koordinasi
sebaik-baiknya. Pangdam 17/PANG OPSADAR”.
Surat
Rahasia Kolonel Infateri Soemarto yang diterbitkan Surat Kabar Nasional
Belanda, NRC Handdelsblad, 4 Maret 2000. “ Pada tahun 1969 Pemerintah
Indonesia memanipulasi PEPERA (Act of Free Choice) tentang status resmi
Dutch New Guinea (Irian Jaya). Dengan seluruhnya berarti, wajar atau
tidak wajar, Jakarta menginginkan untuk menghalangi orang-orang asli
Papua dalam pemilihan melawan bergabung dengan Indonesia. Ini tampak
dari yang disebut dengan “perintah rahasia” dalam bulan Mei 1969 yang
diberikan oleh Soemarto, Komandan orang Indonesia di Merauke, bupati
daerah itu…”(Sumber: Dutch National Newspaper: NRC Handdelsbald, March
4, 2000).
Christofelt L. Korua, Purnawirawan Polisi, saksi mata menyatakan,
“orang-orang Papua yang memberikan suara dalam PEPERA 1969 itu
ditentukan oleh pejabat Indonesia dan sementara orang-orang yang dipilih
itu semua berada di dalam ruangan dan dijaga ketat oleh militer dan
polisi Indonesia” (Wawancara Penulis: Jayapura, 11 Desember 2002).
“Pada
14 Juli 1969, PEPERA dimulai dengan 175 anggota dewan musyawarah untuk
Merauke. Dalam kesempatan itu kelompok besar tentara Indonesia hadir…”
(Sumber: Laporan resmi PBB: Annex 1, paragraph 189-200).
Carmel
Budiardjo, Direktur TAPOL, the Indonesia Human Rigths Campaign, pada 26
Maret 2002 menyerukan kepada Kofi Annan Sekjen PBB, “Dalam bulan
Agustus 1969, penguasa Indonesia melaksanakan PEPERA di West New Guinea
(West Irian), kemudian Irian Jaya dan sekarang Papua) untuk menentukan
status masa depan wilayah. Pemilihan menyampaikan delapan dewan bersama
1.025 orang, dilaksanakan di bawah tekanan dari penguasa militer
Indonesia”.
Pada
masa Kodam dipimpin oleh Brigjen R.Kartidjo (1965-23 Maret 1966),
dilaksanakan “Operasi Sadar” yang bertugas melakukan kegiatan intelejen,
menyadarkan para kepala suku, dan melakukan penangkapan terhadap para
pemimpin OPM (Organisasi Papua Merdeka) serta menangkap orang-orang
Papua yang menolak integrasi dengan Indonesia. Kemudian ketika Brigjen
R.Bintoro ditunjuk sebagai Pangdam (23 Maret 1966-25 Juni 1968),
memimpin “Operasi Bratayudha” yang melakukan operasi menghancurkan
aktifitas OPM yang dipimpin Ferry Awom di Manokwari dan menguasai
wilayah Papua Barat secara keseluruhan. Pangdam berikutnya, Brigjen
Sarwo Edhi Wibowo memimpin tugas “Operasi Sadar” yang bertujuan
menghabisi sisa-sisa OPM, merangkul orang-orang Papua untuk memenangkan
PEPERA 1969, dan melakukan konsolidasi kekuasaan pemerintah Indonesia di
seluruh wilayah” (Yorrys Raweyai: Mengapa Papua Ingin Merdeka,
Presidium Dewan Papua: 2002, hal. 33-34).
Adapun
Surat Rahasia dari Komando Militer Wilayah XVII Tjenderawasih, Kolonel
Infantri Soemarto-NRP.16716, kepada Kamando Militer Resort-172 Merauke
tanggal 8 Mei 1969, Nomor: R-24/1969, Status Surat Rahasia, Perihal:
Pengamanan PEPERA di Merauke. Intin isi surat rahasia adalah sebagai
berikut: “Kami harus yakin
untuk kemenangan mutlak referendum ini, melaksanakan dengan dua metode
biasa dan tidak biasa. Oleh karena itu, saya percaya sebagai ketua Dewan
Musyawarah Daerah dan MUSPIDA akan menyatukan pemahaman dengan tujuan
kita untuk mengabungkan Papua dengan Republik Indonesia” (Sumber: Dutch National Newspaper: NRC Handelsbald, March 4, 2000).
“Di
Manokwari, sementara dewan memberikan suara, pemuda-pemuda Papua dari
luar ruang pertemuan bernyanyi lagu gereja “sendiri, sendiri”. Untuk
menangani ini tentara orang-orang Indonesia menangkap dan melemparkan
mereka dalam mobil dan membawa mereka pergi pada satu bak mobil. Hugh
Lunn, wartawan asing yang hadir, diancam dengan senjata oleh orang
Indonesia sementara di mengambil foto demonstrasi orang Papua” (Dr.
John Saltford: Irian Jaya: United Nations Involment With The Act of
Self-Determination In West Papua (Indonesia West New Guinea) 1968-1969
mengutip laporan Hugh Lunn, seorang wartawan Australia, August 21, 1999).
Kebanyakan anggota PEPERA 1969 ialah orang-orang pendatang yang berasal dari Menado, Toraja, Batak, Ambon/Maluku, dan Buton. Itu terbukti dengan 59 pernyataan pro Indonesia yang ada dalam dokumen PBB sekarang. Bukti itu terlihat pada topik Perlawanan Orang Papua Tentang PEPERA 1969 di bawah ini. Saya
percaya, sangat tidak mungkin pada saat itu orang asli Papua membuat
pernyataan pro Indonesia. Duta Besar Amerika untuk Indonesia tahun 1969
menyatakan: “95% orang asli Papua berpikiran mau merdeka” dan Sudjarwo
mengakui: “banyak orang Papua kemungkinan tidak setuju tinggal dengan
Indonesia”. Pertanyaannya ialah bagaimana mungkin pada saat orang asli
Papua berkeinginan kuat untuk merdeka 95% dan membuat pernyataan yang bertolak belakang? Jawabnya ialah tidak diragukan bahwa 59 pernyataan itu itu hanya rekayasa militer bersama orang-orang pendatang.
2. Penyesalan Perwakilan PBB, Dr. Fernando Ortiz Sanz
Ortiz
Sanz melaporkan: “…pandangan dan keinginan politik orang-orang Papua
telah disampaikan melalui berbagai saluran media: pernyataan-pernyataan
dan komunikasi lain disampaikan kepada saya secara tertulis atau lisan,
demonstrasi-demonstrasi damai, dan dalam beberapa masalah menyatakan
kegelisahan atau ketidakamanan, termasuk peristiwa-perstiwa sepanjang
perrbatasan antara Irian Barat dan wilayah Papua New Guinea yang diurus
oleh Australia” (Sumber resmi: UNGA, Annex I A/7723, 6 November 1969,
paragraph 138, p. 45).
“Pernyataan-pernyataan
(petisi-petisi) tentang pencaplokan Indonesia, peristiwa-peristiwa
ketegangan di Manokwari, Enarotali, dan Waghete, perjuangan-perjuangan
rakyat bagian pedalaman yang dikuasasi oleh pemerintah Australia, dan
keberadaan tahanan politik, lebih dari 300 orang yang dibebaskan atas
permintaan saya, menunjukkan bahwa tanpa ragu-ragu unsur-unsur penduduk
Irian Barat memegang teguh berkeinginan merdeka. Namun demikian, jawaban
yang diberikan oleh anggota dewan musyawarah atas pertanyaan yang
disampaikan kepada mereka adalah sepakat tinggal dengan Indonesia” (
Sumber resmi: UNGA Annex IA/7723, paragraph 250, hal. 70).
Berhubungan dengan pelaksanaan PEPERA 1969 yang manipulatif dan penuh pembohongan bangsa Indonesia telah menjadi kenyataan. Dr. Fenando Ortiz Sanz, perwakilan PBB, yang mengawasi pelaksanaan PEPERA 1969 melaporkan sebagai berikut.
“Saya
harus menyatakan pada permulaan laporan ini, ketika saya tiba di Irian
Barat pada bulan Agustus 1968, saya diperhadapkan dengan masalah-masalah
yang tidak memenuhi ketentuan-ketentuan dalam Perjanjian New York Pasal
XVI. Lebih dulu ahli-ahli PBB yang ada tinggal di Irian Barat pada saat
peralihan tanggungjawab administrasi secara penuh kepada Indonesia
ditiadakan, mereka tidak mengenal keadaan secara baik, mempersingkat
tugas-tugas mereka. Akibatnya, fungsi-fungsi dasar mereka untuk
menasihati dan membantu dalam persiapan untuk mengadakan
ketentuan-ketentuan Penentuan Nasib Sendiri tidak didukung selama masa 1
Mei 1963-23 Agustus 1968. Atas kehadiran saya di Irian Barat, untuk
tujuan misi saya, saya telah memulai dengan mengumpulkan, mencoba untuk
memenuhi dalam beberapa bulan dengan staf yang terbatas tidak seimbang
dengan wilayah yang luas, fungsi-fungsi penting dan kompleks di bawah
Perjanjian New York XVI hendaknya dilaksanakan selama 5 (lima) tahun
dengan sejumlah ahli” (Sumber resmi: UN Doc. Annex I A/7723, paragraph
23, p.4)/
“Saya
dengan menyesal harus menyatakan pengamatan-pengamatan saya tentang
pelaksanaan Pasal XXII (22) Perjanjian New York, yang berhubungan dengan
hak-hak termasuk hak-hak kebebasan berbicara, kebebasan bergerak,
kebebasan berkumpul, penduduk asli. Dalam melakukan usaha-usaha yang
tetap, syarat-syarat yang penting ini tidak sepenuhnya dilaksanakan dan
pelaksanaan administrasi dalam setiap kesempatan diadakan pengawasan
politik yang ketat terhadap penduduk pribumi”.[1]
“Penjelasan
orang-orang Indonesia atas pemberontakan Rakyat Papua sangat tidak
dipercayai. Sesuai dengan penjelasan resmi, alasan pokok pemberontakan
Rakyat Papua yang dilaporkan administrasi lokal sangat memalukan. Karena,
tanpa ragu-ragu penduduk Irian barat dengan pasti memegang teguh
berkeinginan merdeka” ( Sumber: Laporan Resmi Hasil PEPERA 1969 Dalam
Sidang Umum PBB, Paragraf 164, 260).
“…Walaupun
keinginan dan kesediaan saya untuk berangkat ke Irian Barat secepatnya
setelah saya diangkat Perwakilan PBB untuk mengawasi pelaksanaan PEPERA
1969, keberangkatan saya ditunda sampai 7 Agustus 1968 atas permintaan
resmi Pemerintah Indonesia” ( Sumber: Laporan Resmi Hasil PEPERA Nomor
27, Document A/7723, hal. 5).
“…Dalam
beberapa kesempatan, saya berusaha mendekati pemerintah Indonesia yang
mempunyai kuasa saat itu untuk tujuan pelaksanaan Pasal XVI Perjanjian
New York, tetapi gagal untuk mendapat jawaban yang menyenangkan. Pada
tanggal 7 Januari 1965, Indonesia menarik kembali dari keanggotaan PBB
dan oleh karena itu tidak memungkinkan mengirim ahli-ahli PBB ke West
New Guinea (Iran Barat)” ( Sumber: UNGA Annex I/A/7723, paragraph 7, p.3).
“Pada
akhir tahun 1968, Ortiz Sanz dan anggota Timnya sibuk melakukan
perjalanan kedua ke Irian Barat selama tiga minggu. Waktu kembalinya ke
Jakarta, dia melaporkan kepada pimpinannya bahwa mereka diikuti kemana
saja oleh pejabar resmi orang-orang Indonesia, dan sebagai akibatanya,
dia kesulitan besar untuk kontak atau berkomunikasi secara bebas dengan
penduduk asli. Walaupun ini, dia menyadari perasaan anti-Indonesia,
tetapi laporannya menunjukkan bahwa dia mengabaikan perlawanan
orang-orang Papua terhadap Indonesia. Tentu saja, ketika kesempatan ada,
itu menjadi sangat sulit, sungguh-sungguh, memperkirakan kenyataan yang
penting anti-Indonesia, hanya sangat meremehkan kemampuan penduduk asli
dan ketertarikan dalam mengajak beberapa gerakan politik, bahkan
pikiran-pikiran orang-orang Papua” (Sumber: Ortiz Sanz to Rolz-Bennett,
December 18, 1968, UN: Series 100, Box 1, File 3).
“
Telah mempelajari dalam kontak saya dengan orang-orang Papua dan dari
beberapa pernyataan saya terima bahwa sejumlah politikus ditahan, saya
menyelidiki, dalam percapakan dengan Duta Besar Sudjarwo Tjondronegoro
dan pejabat resmi lain, kemungkinan mendapat pembebasan secara
berangsur-angsur. Pada tanggal 21 November 1968, saya menulis surat
menyampaikan kepada pemerintah untuk membebaskan tahanan politik di
berbagai tempat di Papua dalam peringatan Hari HAM Internasional yang
ke-15 dan juga mendekati memasuki musim Natal…” (Dokumen resmi: UNGA
1969, A/7706-7723/A/7723, 6 November 1969, paragraph 61, p.23).
Dr. Fernando Ortiz Sanz dalam laporan resminya dalam Sidang Umum PBB tahun 1969 menyatakan: “ Mayoritas
orang Papua menunjukkan berkeinginan untuk berpisah dengan Indonesia
dan mendukung pikiran mendirikan Negara Papua Merdeka” (Sumber: UN Doc. Annex I, A/7723, paragraph, 243, p.47).
3. Protes Anggota PBB Dalam Sidang Umum Tahun 1969
Yang
jelas dan pasti, telah diketahui bahwa hasil PEPERA 1969 itu menuai
hujan kritik dan protes yang keras dalam Sidang Umum PBB pada tahun 1969
oleh anggota resmi PBB. Mereka
(anggota PBB) mempersoalkan pelaksanaan PEPERA yang penuh dengan
kebohongan dan kejahatan kemanusiaan yang melanggar hukum internasional. Karena, hasil PEPERA 1969 itu dianggap melanggar hukum internasional , maka dalam Sidang Umum PBB hanya mencatat “take note”. Istilah
“take note” itu tidak sama dengan disahkan. Hanya dicatat karena masih
ada masalah yang serius dalam pelaksanaan PEPERA 1969 di Papua Barat.
Hasil PEPERA 1969 tidak disahkan tapi hanya dicatat karena perlawanan sengit dari beberapa Negara anggota PBB yang dimotori oleh pemerintah Ghana. Itu menjadi terbukti dalam arsip resmi di kantor PBB, New York, Amerika Serikat, terbukti: “ …156 dari 179 pernyataan yang masih tersimpan, sesuai dengan semua yang diterima sampai tanggal 30 April 1969, dari pernyataan-pernyataan ini, 95 pernyataan anti Indonesia, 59 pernyataan pro Indonesia, dan 2 pernyataan adalah netral” (Sumber resmi: Dok
PBB di New York: Six lists of summaries of political communications
from unidentified Papuans to Ortiz Sanz, August 1968 to April 1969: UN
Series 100, Box 1, File 5).
Duta
Besar pemerintah Ghana, Mr. Akwei, memprotes dalam Sidang Umum PBB,
dengan mengutip laporan Dr. Fernando Ortiz Sanz tentang sikap Menteri
Dalam Negeri Indonesia yang tidak terpuji yang ditunjukkan kepada
peserta PEPERA di Papua Barat. “ yang
dilaporkan oleh perwakilan Sekretaris Umum bahwa bukti-bukti peristiwa
keputusan pelaksanaan pemilihan bebas adalah fenomena asing dimana
Menteri Dalam Negeri naik di mimbar dan benar-benar kampanye. Dia,
Menteri Dalam Negeri Indonesia meminta anggota-anggota dewan musyawarah
untuk menentukan masa depan mereka dengan mengajak bahwa mereka satu
ideology, Pancasila, satu bendera, satu pemerintah, satu Negara dari
sabang sampai Merauke…”.[2]
Sedangkan
Duta Besar pemerintah Gabon, Mr. Davin, mengkritik sebagai berikut: “
Setelah kami mempelajari laporan ini, utusan pemerintah Gabon menemukan
kebingungan yang luar biasa, itu sangat sulit bagi kami menyatakan
pendapat tentang metode dan prosedur yang dipakai untuk musyawarah
rakyat Irian Barat. Kami dibinggungkan luar biasa dengan
keberatan-keberatan yang dirumuskan oleh Mr. Ortiz Sanz
dalam kata-kata terakhir pada penutupan laporannya. Berkenaan dengan
metode-metode dan prosedur-prosedur ini, jika utusan saya berpikir
perlunya untuk menyampaikan pertanyaan mendasar, itu dengan pasti
menarik perhatian peserta sidang untuk memastikan aspek-aspek yang ada,
untuk menyatakan setidak-tidaknya luar biasa. Kami harus menanyakan
kekejutan kami dan permintaan penjelasan tentang sejumlah bukti-bukti
yang disampaikan dalam laporan perwakilan Sekreratis Jenderal. Contoh:
kami dapat bertanya:
a. Mengapa sangat banyak jumlah mayoritas wakil-wakil diangkat oleh pemerintah dan tidak dipilih oleh rakyat?
b. Mengapa pengamat PBB dapat hadir dalam pemilihan hanya 20 persen wakil, beberapa dari mereka hanya sebentar saja?
c. Mengapa pertemuan konsultasi dikepalai oleh Gubernur; dengan kata lain, oleh perwakilan pemerintah?
d. Mengapa hanya organisasi pemerintah dan bukan gerakan oposisi dapat hadir sebagai calon?
e. Mengapa prinsip “one man, one vote” yang direkomendasikan oleh perwakilan Sekretaris Jenderal tidak dilaksanakan?
f. Mengapa tidak ada perwakilan rahasia, tetapi musyawarah terbuka yang dihadiri pemerintah dan militer?
g. Mengapa
para menteri dengan sengaja hadir dan mempengaruhi wakil-wakil di depan
umum dengan menyampaikan mereka bahwa, “hanya hak menjawab atas
pertanyaan untuk mengumumkan bahwa mereka berkeinginan tinggal dengan
Indonesia?
h. Mengapa
hak-hak pengakuan dalam Pasal XXII (22) Perjanjian New York, yang
berhubungan dengan kebebasan menyatakan pendapat; berserikat dan
berkupul tidak dinikmati oleh seluruh penduduk asli Papua?[3] Protes Negara-Negara Afrika ini, J.P. Drooglever menggambarkan
sebagai berikut: “….Sekelompok negara-negara Afrika melancarkan
kritiknya, yaitu mereka yang sejak tahun 1961 telah bersimpati terhadap
persoalan-persoalan Papua” (hal. 784).
4. Protes Sejarawan
J.P.
Drooglever menemukan dalam penelitiannya : “Laporan akhir Sekjen PBB
seluruhnya didasarkan pada laporan Ortiz Sanz tentang peranannya dalam
pelaksanaan Kegiatan Pemilihan Bebas. Laporan ini hanya berisi kritik
yang lemah terhadap oposisi dari pihak Indonesia. Atas dasar ini, U. Thant tidak bisa berbuat lain kecuali menyimpulkan bahwa suatu (an) Kegiatan Pemilihan Bebas telah dilaksanakan. Ia (U Thant) tidak bisa menggunakan kata depan yang tegas (the),
karena nilai-nilai proses situ jauh di bawah standar yang diatur dalam
Persetujuan New York. Walaupun dapat ditafsirkan sebagai suatu penilaian
yang mencibir, tetapi pihak-pihak yang justru mengabaikan pengkalimatan
yang tidak jelas dalam persetujuan New York itu” (hal.784). ( Sumber: Tindakan Pilihan Bebas, Orang Papua dan Penentuan Nasib Sendiri” .
Drooglever
mengatakan, “menurut pendapat para pengamat Barat dan orang-orang Papua
yang bersuara mengenai hal ini, tindakan Pilihan Bebas berakhir dengan
kepalsuan, sementara sekelompok pemilih yang berada di bawah tekanan
luar biasa tampaknya memilih secara mutlak untuk mendukung Indonesia”
(hal. 783). Ini bertentangan dengan “…karakter
nasional yang sama sekali berbeda, dan hampir tidak ada paham
nasionalisme Indonesia di kalangan orang-orang Papua” (2010: hal.775).
Dr.
Hans Meijer, Sejarawan Belanda dalam penelitiannya yang berhubungan
dengan hasil PEPERA 1969 di Papua Barat menyatakan bahwa “PEPERA 1969 di
Papua Barat benar-benar tidak demokratis. Sebagian
besar hal menarik adalah tentang dokumen-dokumen yang benar-benar
tertulis dalam arsip. Sebab Menteri Luar Negeri, Lunz, dia menyatakan
secara jelas dalam arsip surat bahwa dia percaya PEPERA 1969
dilaksanakan dengan cara tidak jujur sebab jikalau jujur orang-orang
Papua bersuara melawan Indonesia…., sungguh-sungguh itu tidak demokratis
dan itu lelucon. Lunz juga, mengadakan pertemuan sangat rahasia dengan
Menteri Luar Negeri Indonesia, Adam Malik, bahwa Belanda meninggalkan
Papua ketika PEPERA dilaksanakan. Bahwa
Belanda telah mengetahui bahwa PEPERA 1969 benar-benar tidak
demokratis, walaupun demikian Belanda tidak berbuat apa-apa tentang itu. Mr.
Saltimar adalah Duta Besar Belanda di Jakarta, pada waktu pelaksanaan
PEPERA, dia menulis surat kepada Mr. Schiff sebagai Sekretaris Umum Luar
Negeri, bahwa tentu saja dia melihat banyak hal yang salah tetapi itu
bukan tanggungjawab untuk melaporkan tentang itu dalam dokumen-dokumen
resmi. PEPERA 1969 adalah suatu penghinaan dan itu sesungguhnya tidak jujur dan itu perlu ditinjau kembali. ” (Documents show Dutch support for West Papua take-over, ABC Radio National Asia/Pasific Program.first broadcasting, 17 April 2001).
5. Protes Akademisi
Dr.
John Saltford, Akademisi Inggris yang menyelidiki hasil pelaksanaan
PEPERA 1969 menyatakan: “ tidak ada kebebasan dan kesempatan dalam
perundingan-perundingan atau proses pengambilan keputusan orang-orang
Papua Barat dilibatkan. Jadi, PBB, Belanda dan Indonesia gagal dan
sengaja sejak dalam penandatanganan tidak pernah melibatkan orang-orang
Papua untuk menentukan nasib sendiri secara jujur”(John Salford: United Nations Involment With the Act of Free Self-Determination in West Papua (Indonesia West New Guinea) 1968 to 1969).
Saltford
menyatakan, “ bahwa Dr. Fernando Ortiz Sanz sendiri menyampaikan
laporan bahwa banyak pernyataan yang dia terima dalam akhir minggu tahun
1969 adalah melawan Indonesia,
dengan demikian, alasan yang dapat diterima dalam kesimpulan bahwa
jumlah sedikitnya 60% pernyataan ditujukan kepada PBB adalah melawan
Indonesia dan setuju referendum secara jujur dan terbuka. ….Karena
itu, Ortiz Sanz sendiri memilih untuk berhati-hati dalam Sidang Umum
PBB, atau dia telah disampaikan untuk melakukan pembohongan itu oleh
U.Thant”.
“Dr.
John Saltford, pada Radio Australia, tanggal 27 November 2002, “
Sekretaris Jenderal PBB dalam laporan resminya kepada Sidang Umum PBB,
menyatakan ini adalah laporan resmi dari seluruh prosedur, dia
mengatakan bahwa ada banyak petisi pro dan melawan posisi Indonesia di
Papua Barat dan dia mengatakan bahwa mayoritas tinggal dengan Indonesia.
Tetapi, sekarang saya benar-benar pergi dan mencari arsip-arsip PBB,
dan saya telah meminta banyak informasi dokumen-dokumen sangat rahasia
dan saya sangat bergembira bahwa mereka memberikannya. Tetapi, sangat
bertentangan dengan laporan Sekjen PBB, setelah saya melihat dan membaca
pada daftar petisi itu, ada daftar-daftar pokok penting tentang
petisi-petisi (pernyataan-pernyataan) dan ringkasan satu sama lain,
….yang menyatakan mayoritas berkeinginan menentukan nasib sendiri secara
murni di Papua Barat dan melawan Indonesia”.
Dr. George Junus Aditjondro mengatakan, “Dari
kaca mata yang lebih netral, hal-hal apa saja yang dapat membuat klaim
Indonesia atas daerah Papua Barat ini pantas untuk dipertanyakan
kembali”, (2000:hal.8). Robin Osborn mengungkapkan, “….bahwa
pengabungan daerah bekas jajahan Belanda itu ke dalam wilayah Indonesia
didasarkan pada premis yang keliru. Yaitu ketika 1.025 orang delegasi
yang dipilih pemerintah Indonesia memberikan suara mereka dibawah
pengawasan PBB diartikan sebagai aspirasi politik dari seluruh
masyarakat Papua Barat. Kini, premis ini diragukan keabsahannya
berdasarkan hukum internasional”(Juli 2000:hal.xxx).
Pada
hari Sabtu, 16 Januari 2010 di studio Media Indonesia pada acara Kick
Andy, dalam menyikapi pelarangan lima buku oleh Kejaksaan Agung, Ikrar
Nusa Bhakti dalam menanggapi kementar saya (Socratez) tentang
pelaksanaan PEPERA 1969 di Papua Barat yang tidak demokrasi dan lebih
dimenangkan oleh aparat keamanan Indonesia, Ikrar
berkomentar: “ memang apa yang dikatakan pak Socratez tentang
pelaksanaan PEPERA 1969 yang tidak demokratis itu ada benarnya”.
Pdt.
Dr. Phil Karel Erari menyatakan: “Rakyat Papua merasa bahwa PEPERA
adalah rekayasa Pemerintah RI, Belanda, Amerika Serikat dan PBB, di mana
rakyat Papua tidak dilibatkan sebagai subyek hukum Internasional dan
pelaksanaannya tidak dilakukan secara demokratis sesuai dengan kebiasaan
dan praktek yang berlaku dalam masyarakat internasional”(hal. 23).
Erari menambahkan, “Sejarah Integrasi Papua dalam Indonesia adalah suatu
sejarah berdarah. Pelanggaran HAM yang diwarnai oleh pembunuhan kilat,
penculikan, penghilangan, perkosaan, pembantaian, dan kecurigaan”.[4] Karel Phil Erari dengan tegas mengatakan, “Secara hukum, integrasi Papua dalam NKRI bermasalah” (2006: hal.182)
Erari
mengungkapkan: “ Sejarah sedang berbicara, bahwa genderang Trikora, 19
Desember 1961 dari Yogyakarta telah mengukir sebuah tragedi budaya dan
kemanusiaan. Proses peralihan Papua dari Belanda melalui PBB dan pada
akhirnya direkayasa dalam bentuk PEPERA 1969 telah menjadi persoalan
yang menyangkut pelanggaran HAM. Para
pelaku sejarah mengakui bahwa menghadapi pelaksanaan PEPERA, mereka
tidak terlibat dalam proses persiapan pelaksanaan PEPERA.
Anggota-anggota DPRD-GR, pimpinan Dirk Ajamiseba dibubarkan dan diganti
oleh Dewan Musyawarah PEPERA (DMP) yang berjumlah 1025 anggota. Seluruh
pelaksanaan PEPERA dikendalikan oleh Operasi Khusus (Opsus) dengan misi
Jakarta, yakni memenangkan PEPERA untuk Indonesia” ( Erari: hal.169).
6. Pengakuan Pemerintah Amerika, Inggris dan Indonesia
Pada
bulan Juni 1969, Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia mengakui
kepada anggota Tim PBB, Ortiz Sanz, secara tertutup (rahasia): “bahwa 95% orang-orang Papua mendukung gerakan kemerdekaan Papua” (Sumber: Summarey of Jack W. Lydman’s report, July 18, 1969, in NAA, Extracts given to author by Anthony Bamain).
Diakui
oleh Pemerintah Inggris melalui Jurubicara House of Lord, Symon
Barroness pada tanggal 13 Desember 2004. Symon Barroness mengatakan
bahwa, “Papua dimasukkan dengan
paksa ke dalam wilayah Indonesia melalui rekayasa PEPERA 1969 dan
akibatnya bagimana keadaan orang Papua sekarang dan kelangsungan hidup
masa depan orang-orang Papua .”[5]
Tidak
dapat diragukan dan juga tidak dapat dibantah, keinginan kuat orang
asli Papua Barat untuk merdeka di negeri dan tanah leluhurnya. Sudjarwo, mengakui: “ banyak orang Papua kemungkinan tidak setuju tinggal dengan Indonesia” (Sumber Resmi: UNGA Official Records MM ex 1, paragraph 126).
7. Protes Anggota Kongres Amerika, Parlemen Inggris, Uni Eropa, Irlandia
Pada 17 Februari 2005, Eni F.H. Faleomavaega menyurat kepada Pemerintah Amerika, “ Pada
tahun 1969, Indonesia menyusun suatu pemilihan yang banyak berkaitan
operasi yang brutal. Yang diketahui sebagai suatu “Act of – No Choice”
atau hokum yang tidak ada pemilihan, 1.025 pemimpin Papua Barat dibawah
pengawasan militer yang kuat diseleksi untuk memilih atas nama 809.327
orang Papua barat untuk status politik wilayah itu. Perwakilan PBB
dikirm untuk mengawasi dan melaporkan hasil proses pemilihan dan
laporannya yang berbeda yang penghancuran serius Piagam Perserikatan
Bangsa-Bangsa” (lihat dalam buku: Suara Bagi Kaum tak Bersuara, Dumma
Socratez: 2009:277).
Pada
14 Februari 2008, Eni F.H. Faleomavaega dan Donald Payne, Anggota
Kongres Amerika melayangkan surat kepada Sekjen Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB), Ban Ki-Moon, “…Referendum
(PEPERA 1969) bagi orang asli Papua itu dengan jelas menunjukkan bahwa
tidak pernah dilaksanakan. Dalam fakta, 37 (tiga puluh tujuh) Anggota
Kongres Amerika telah menulis surat, pada tahun 2006, kepada Tuan Annan
meminta bahwa PBB tinjau kembali untuk melaksanakan pemerimaan “ PEPERA
1969” itu.
Pada 19 Juli 2002, 34 Anggota Parlemen Uni Eropa menyerukan kepada Komisi dan Parlemen Uni Eropa untuk mendesak Sekjen PBB, Kofi Annan, dengan pernyataan sebagai berikkut: “PEPERA
1969 lebih daripada lelucon. Jumlah 1.025 orang Papua, semuanya dipilih
oleh penguasa Indonesia yang diijinkan untuk menyuarakan dengan
menyatakan tidak ada pengawasan PBB, masa depan orang-orang Papua Barat
800.000 penduduk asli, mereka serentak bersuara tinggal dengan
Indonesia. Menyerukan kepada
Dewan dan Komisi Uni Eropa untuk mendesak Sekjen PBB yang berhubungan
dengan PEPERA 1969 dan mempertimbangkan kembali penentuan nasib sendiri
di Papua Barat untuk menciptakan stabilitas wilayah Asia Timur Selatan”
(baca: Laporan Komisi Uni Eropa, the EC Conflict Prevention Assessment
Mission: Indonesia, March, 2002, on unrest in West Papua).
Pada
31 Januari 1996, Parlemen Irlandia mengeluarkan resolusi tentang West
Papua. Bunyi resolusi sebagai berikut. “Ketidakjujuran pelaksanaan
PEPERA 1969 sebagai pernyataan yang tidak murni dalam penentuan nasib
sendiri orang-orang West Papua. Maka Parlemen Irlandia menyerukan kepada
Pemerintah Irlandia meminta kepada PBB untuk menyelidiki pelaksanaan
PEPERA yang menindas dan mengkhianati hak-hak asasi manusia dan
mempertanyakan pengabsahan PEPERA 1969”.
Pada
1 Desember 2008, di gedung Parlemen Inggris, London, Hon. Andrew Smith,
MP, dan The Rt. Revd. Lord Harries of Pentregarth dan 50 anggota
Parlemen dari berbagai Negara menyatakan: “kami yang bertanda tangan di
bawah ini dengan jujur dan benar mengakui penduduk asli Papua Barat
untuk menentukan nasib sendiri ( Self-Determination), karena masa depan
mereka dihancurkan melalui PEPERA 1969 “Act
of Free Choice 1969”. Kami menyerukan kepada pemerintah-pemerintah
melalui PBB mengatur untuk pelaksanaan penentuan nasib sendiri dengan
bebas dan jujur. Penduduk asli Papua Barat dapat memutuskan secara demokratis masa depan mereka sendiri sesuai dengan standar-standar hak asasi Internasional, prinsip-prinsip hukum Internasional, dan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa”.
Pada
1 Desember 2009 di Gedung Parlemen Inggris, London, para Ahli Hukum
Internasional Untuk Papua Barat, “International Lawyers for West Papua”
(ILWP) pada saat peluncuran buku Prof. Pieter Drooglever, dinyatakan, “
empat puluh tahun yang lalu secara ironis yang dilaksanakan namanya
PEPERA 1969 “Act of Free Choice”. Tapi, sebenarnya tidak ada pemilihan. …Itu terjadi dua skandal, yaitu: (1) skandal aneksasi secara illegal Indonesia tentang Papua Barat; dan (2) skandal kolusi Internasional dengan Indonesia”.
Melihat akar permasalahan sejarah diintegrasikannya Papua ke delam wilayah Indonesia yang penuh rekayasa dan kepalsuan seperti ini, jalan penyelesaian yang berprospek damai, bermartabat
dan manusiawi harus ditemukan antara penduduk asli Papua dengan
pemerintah Indonesia. Oleh karena itu, gagasan dialog Jakarta-Papua
antara Pemerintah Indonesia dan penduduk asli Papua harus didukung semua
komponen. Dialog damai yang dimaksud penulis adalah dialog tanpa syarat
dan dimediasi oleh pihak ketiga yang netral seperti dialog
Jakarta-Aceh.Maksud penulis dialog tanpa syarat ialah dalam dialog tidak
berbicara Papua Merdeka dan juga tidak dalam bingkai NKRI. Artinya
dialog jujur dan setara harus dalam kerangka baru yaitu diluar
konstruksi Papua Merdeka dan NKRI. Tanpa kerangka
baru seperti ini, yakinlah bahwa paradoks ini tidak akan pernah
menemukan jalan penyelesaian yang menyeluruh dan bermartabat. Karena
itu, diharapkan dalam dialog harus melihat masalah Papua dengan nurani
yang suci dan pikiran jernih untuk mencari penyelesaian untuk mewujudkan
perdamaian permanen demi masa depan Indonesia dan juga masa depan masyarakat asli Papua. Tuhan memberkati kita semua.
============================================
Penulis: Socratez Sofyan Yoman, Ketua Umum Badan Pelayan Pusat Persekutuan Gereja-gereja Baptis Papua. Alamat Kantor: Jln. Jeruk Nipis Kotaraja, Numbay (Jayapura), Papua. Dan Alamat Rumah: Ita Wakhu Purom, Numbay (Jayapura), Papua. HP: 081248884
Post a Comment